: Armansyah
Penulis buku “Rekonstruksi Sejarah Isa Al-Masih”, “Jejak Nabi Palsu” dan “Ramalan Imam Mahdi”
Ketika Allah mewahyukan didalam al-Qur’an tentang adanya empat bulan terlarang bagi manusia dari total dua belas bulan maka empat bulan yang dimaksud dijelaskan oleh Nabi Muhammad sebagai tiga bulan berurutan dan satu bulan yang terpisah, masing-masing Dzulkaidah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab.
“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah pada hari Dia menciptakan planet-planet dan bumi, diantaranya ada empat bulan terlarang. Itulah agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri padanya. Perangilah orang-orang musyrik itu seluruhnya sebagaimana mereka memerangi kamu seluruhnya. Ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang memelihara diri.” (QS AT-Taubah (9) :36)
“Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan diantaranya terdapat empat bulan yang dihormati, tiga bulan diantaranya berturut-turut Dzulqaidah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab Mudhar, yang terdapat diantara bulan Jumada tsaniah dan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Bakrah)
Bulan Muharram dikenal juga dengan sebutan “Syahrullah” (Bulan Allah) sebagaimana yang disampaikan Rasulullah Saw dalam sebuah hadisnya. Para Ulama menyatakan bahwa penyandingan sesuatu pada yang lafdzul Jalalah (lafadz Allah) memiliki makna tasyrif (pemuliaan), sebagaimana istilah Baitullah, Rasulullah, Syaifullah, Khalilullah dan sebagainya.
Rasulullah bersabda : “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah Muharram. Sedangkan shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam”. (HR. Muslim, Abu Daud, Tarmizi, Nasai’ dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah dengan status hadis marfu’)
Dari Nukman bin Saad dari Ali bin Abi Thalib, : Telah bertanya kepada beliau seorang lelaki. Katanya,”Apakah bulan yang engaku suruh aku berpuasa selepas bulan Ramadhan?”, Maka jawab Ali,”Aku tidak pernah mendengar seseorang bertanya mengenai perkara ini melainkan seorang lelaki yang aku telah dengar bagaimana dia bertanya kepada Rasululullah Saw sedangkan aku duduk disampingnya. Maka katanya,”Wahai Rasulullah! apakah bulan yang engkau suruh aku berpuasa selepas bulan Ramadhan?”. Jawab nabi Saw,”Sekiranya engkau berpuasa selepas bulan Ramadhan maka berpuasalah bulan Muharram maka sesungguhnya ia merupakan bulan Allah padanya hari Allah telah mengampunkan dosa padanya atas kaum dan akan mengampun padanya atas kaum”. (HR. Tirmidzi dengan status hadis hasan gharib)
Secara bahasa atau maknawiah bulan haram adalah bulan yang disucikan dimana orang dilarang berperang kecuali kalau diserang, juga dilarang membunuh binatang darat buruan untuk menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup (suaka margasatwa).
Mereka bertanya tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar. Namin menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) dari pada membunuh. (QS AL-Baqarah (2) :217)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya. (QS AL-Maaidah (5) :95)
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (manangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertaqwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan. (QS AL-Maaidah (5) :96)
Sejak jaman jahiliah, masyarakat Arab pra Islam telah mewarisi tradisi berhaji kebaitullah dari Nabi Ibrahim as, yang dengan berlalunya perjalanan waktu tradisi haji tersebut mengalami kodifikasi sedemikian rupa sehingga menyimpang dari ketentuan yang seharusnya. Selama musim haji tersebut, mereka juga dipercaya telah mengenal adanya keempat bulan yang diharamkan perbuatan zalim tersebut. Bulan Dzulqaidah misalnya, adalah bulan dimana orang-orang secara bertahap mulai bersiap untuk berangkat ataupun menunaikan ibadah haji. Bulan Dzulhijjah adalah waktu pelaksanaan ibadah haji itu sendiri. Dan bulan Muharram merupakan bulan dimana “para haji” itu kembali kekampung dan komunitas mereka masing-masing. Sedangkan bulan Rajab adalah pertengahan tahun waktu orang berkesempatan ziarah atau umrah. Atas dasar inilah, pada empat bulan itu tidak pantas terjadi kezaliman ataupun huru-hara. Masyarakat harus menciptakan rasa aman dan kondusif bagi terselenggaranya ibadah haji dan umrah secara baik walaupun tata cara pelaksanaan haji yang mereka lakukan kala itu sudah bergeser jauh dari petunjuk Nabi Ibrahim as.
Allah menjelaskan kepada kita bahwa ibadah haji yang dilakukan masyarakat Jahiliah pada masa itu adalah sebagai berikut : “Shalat mereka di sekitar Baitullah itu lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan”. (QS AL-Anfaal (8) :35).
Segala usaha untuk berbuat zalim pada bulan-bulan itu haruslah ditunda, semua bentuk peperangan, kekejaman, perpecahan, agresi haruslah dihentikan ataupun ditunda sampai berlalunya bulan-bulan tersebut. Jadi mungkin yang dikehendaki oleh Allah adalah selama empat bulan tertentu bumi ini harusnya suci dari pertumpahan darah serta hal-hal yang berkaitan dengan perselisihan diantara manusia. Sebagian ulama mengatan bila larangan pada empat bulan ini pada jaman sekarang tidak lagi berlaku. Karena ia telah dimansukhan atau dibatalkan Allah setelah penaklukkan Mekkah oleh Nabi Muhammad Saw. Oleh sebab itulah menurut mereka, bulan Muharram akhirnya dinyatakan sebagai bulan Allah (shahrullah). Sekaitan dengan ini, seorang cendikiawan muslim kontemporer Indonesia pada era tahun 80-an, Nazwar Syamsu, menepis anggapan tersebut. Beliau mencoba mengkorelasikan antara penetapan empat bulan terlarang ini dengan Sains modern. Dalam salah satu seri bukunya “Tauhid dan Logika” yang berjudul “Al-Qur’an tentang Shalat, Puasa dan Waktu”, Nazwar Syamsu menulis bila keempat bulan tersebut berkaitan dengan posisi bumi terhadap matahari[1]. Seperti yang kita ketahui bumi bergerak mengelilingi matahari dalam orbit berbentuk Oval. Lingkaran orbit oval seperti bentuk telur itu memiliki titik Aphelion dan titik Perihelion. Titik perihelion sendiri adalah titik terdekat bumi dengan matahari sementara titik Aphelion yaitu titik terjauh bumi dari matahari.
Sewaktu Bumi berada pada titik perihelion ini, gaya tarik-menariknya sangatlah kuat terhadap matahari sehingga ketika itu gelombang laut tampak lebih besar daripada biasanya (pasang). Keadaan bumi pada fase ini adalah serius sekali, dan ini terjadinya pada bulan Muharram. Setelah itu bumi mulai melayang lambat dan paling lambat sewaktu berada di titik Aphelionnya yaitu bulan Rajab. Setelah itu Bumi kembali melayang cepat karena ditarik oleh gravitasi matahari pada bulan kesebelas dan dua belas, yaitu Dzulqaidah dan Dzulhijjah. Puncaknya dibulan Dzulhijjah orang diperintahkan untuk melakukan haji dengan bertawaf mengitari Ka’bah sebagai Baitullah, pusat peribadahan umat Islam sebagaimana juga planet-planet disetiap galaksi melakukan rotasi. Dari pelajaran Fisika kita mengetahui bahwa semesta, galaksi, tata surya dan planet, masing-masingnya mengalami perputaran. Setiap putaran tentunya memiliki pusat putaran yang langsung menjadi pusat benda angkasa itu. Semuanya bagaikan bola atau roda yang senantiasa berputar. Galaksi terdekat dengan bumi kita adalah berjarak 170.000 tahun cahaya. Dan diperkirakan bahwa pada setiap galaksi akan terdapat sistem matahari sebagaimana yang ada pada galaksi bima sakti kita ini. Dan jika setiap galaksi memiliki sistem matahari tersebut, maka tentunya keadaan dari planet-planet yang mengitari galaksi tersebut juga tidak akab berbeda jauh dengan keadaan planet-planet yang ada dalam wilayah galaksi Bima sakti.
itulah sebabnya kenapa Muharram, Rajab, Zulkaidah, dan Zulhijjah dinamakan empat bulan terlarang didalam al-Qur’an. Pada bulan-bulan itu Bumi sedang mengalami tarikan kuat dan tarikan lemahnya pada matahari sehingga manusia yang ada dibumi bagaikan diberi peringatan tentang kekuasaan dan kasih sayang Allah terhadap manusia. Andai Dia mau, sangatlah mudah sekali untuk melepaskan bumi ini dari garis orbitnya sehingga terhisab oleh matahari, hanya karena kasih sayang-Nya saja maka semua tetap berjalan dengan semestinya.
Sesungguhnya Allah menahan langit (planet-planet) dan bumi supaya jangan lenyap (lepas dari orbitnya). Dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorangpun yang dapat menahan keduanya selain Allah. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (QS Faathir (35) :41)
Jadi intinya adalah keempat bulan tersebut masih menjadi empat bulan yang mestinya tetap dihormati, dimuliakan dan diharamkan seluruh bentuk kemaksiatan maupun pertumpahan darah sampai kapanpun. Dibulan haji sebagai puncak Perihelion, orang diserukan untuk melakukan ibadah korban sebagai wujud kesadaran sosialnya pada mereka yang tidak mampu, menebarkan kasih sayang pada kalangan yang papa dan kekurangan serta banyak menyebut nama Allah selaku ungkapan syukur atas nikmat-Nya yang tidak dapat dihitung.
Katakanlah : Jika laut menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, pasti akan habis laut itu sebelum usai kalimat-kalimat Tuhanku (tertulis), meskipun (lalu) kita datangkan tambahan (laut) sebanyak itu juga (QS AL-Kahf I (18) :109)
Dalam hal ini penulis setuju dengan apa yang dikemukakan oleh Nazwar Syamsu tersebut, dimana keempat bulan mulia yang disebut oleh al-Qur’an tetap berlaku sampai kapanpun. Adanya penetapan empat bulan mulia yang dilarang kemaksiatan ini sangatlah penting, terutama larangan yang ada kaitannya dengan pemburuan hewan-hewan liar sebagaimana firman Allah pada surah AL-Maaidah atar 95 :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram. (QS AL-Maaidah (5) :95)
Pada fase-fase yang ada diempat bulan itu, terdapat musim panas dimana kebanyakan hewan liar melahirkan. Dengan membunuh seekor hewan liar pada hakekatnya kita tidak hanya membunuh satu hewan itu saja tapi juga membunuh semua anaknya yang belum mampu mencari makan sendiri ataupun melindungi diri mereka dari gangguan hewan lain termasuk kadangkala bapaknya sendiri (contohnya seperti harimau). Dengan demikian perintah Allah tersebut mengandung tuntunan bagi kita untuk mau perduli dengan kemaslahatan makhluk hidup lain diluar manusia. Kita harus mampu memberikan perlindungan pada margasatwa untuk menjaga kelestariannya serta keseimbangan ekosistem dunia.
“Binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya tidak lain dari umat-umat (juga) seperti kamu.” (QS Al-An’am (6) :38)
Palembang, 2008
Armansyah
Sumber :http://arsiparmansyah.wordpress.com/2008/06/25/empat-bulan-haram/